Fakta mengenai Diabetes Melitus (4)
Tabel Aktivitas yang Disarankan pada Pasien Diabetes Melitus
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Saya sebagai seorang dokter seringkali menemui pasien yang tidak rutin minum obat anti diabetes melitus, tidak rutin kontrol gula darah, dan juga tidak rutin kontrol ke dokter dengan alasan tidak ada keluhan. Padahal penyakit diabetes melitus ini adalah penyakit yang bisa dikatakan tidak bisa sembuh, akan tetapi merupakan penyakit yang harus selalu terkontrol. Pasien diabetes melitus seringkali berobat jika sudah ada komplikasi akibat gula darah yang tidak terkontrol dalam jangka waktu lama. Penggunaan obat kimiawi maupun obat herbal pada pasien diabetes melitus seharusnya diperbolehkan jika sudah melewati penelitian yang menyatakan bahwa memang obat kimiawi atau obat herbal tersebut terbukti aman dan bermanfaat bagi pasien. Obat kimiawi anti diabetes melitus yang boleh beredar di pasaran bisa dikatakan sudah lolos semua tahap penelitian sehingga obat kimiawi tersebut terbukti aman dan bermanfaat bagi pasien diabetes melitus. Alangkah baiknya jika obat herbal untuk pasien diabetes melitus yang boleh beredar di pasaran juga harus lolos semua tahap penelitian agar memang terbukti aman dan bermanfaat bagi pasien diabetes melitus karena seringkali saya mendapati pasien diabetes melitus yang hanya mengkonsumsi obat herbal datang ke dokter dengan kondisi gula darah yang tidak terkontrol terlalu tinggi dan sudah dengan komplikasi. Berikut komplikasi diabetes melitus yang tidak terkontrol dalam jangka waktu lama.
Komplikasi
Pada diabetes melitus yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Di Amerika Serikat, diabetes melitus merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.3
Berikut ini merupakan komplikasi dari diabetes melitus:
a. Komplikasi akut meliputi:
1. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. KAD merupakan salah satu komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.1,6
2. Status Hiperglikemia Hiperosmolar
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH) termasuk salah satu komplikasi akut dan emergensi diabetes melitus. SHH ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit meningkat. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berut, dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis SHH biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus.1,7
Kedua kondisi di atas, KAD dan SHH mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.1
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah nilai normal. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 63-65 mg/dL (3,5-3,6 mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma < 63 mg/dL (3,5 mmol/L).1,8
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (2472 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.1
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).1 Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a) keluhan yang menunjukkan adarrya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b) kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c) hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi.8
|
Diagram Diagnosis Diabetes Melitus
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
|
b. Komplikasi kronik meliputi:
1. Makroangiopati:
i. Kerusakan pembuluh darah jantung
Diabetes melitus merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi. Prevalensi penyakit jantung koroner dengan penyakit diabetes melitus (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada populasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan diabetes melitus tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan diabetes melitus tipe 2.3
Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner ataupun riwayat keluarga diabetes melitus yang kuat. Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidaknyamanan pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan penyaring yang teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan adanya penyakit pembuluh darah koroner, paling sedikit dengan pemeriksaan EKG saat istirahat, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan EKG dengan beban, serta sarana konfirmasi diagnosis lain untuk deteksi dini Coronary Artery Disease (CAD). Pada penyandang diabetes melitus, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang diabetes melitus.9
ii. Kerusakan pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD) sering terjadi pada penyandang diabetes melitus. Komplikasi ini dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes melitus daripada orang yang tidak menderita diabetes melitus. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes melitus berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.1,3
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, dll.), neurupati dan adanya penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang harus selalu dicari dan diperhatikan pada praktik pengelolaan diabetes melitus sehari-hari. Penyuluhan pada para penyandang diabetes melitus mengenai diabetes melitus pada umumnya serta perawatan kaki pada khususnya harus digalakkan.9
iii. Kerusakan pembuluh darah otak
Prevalensi komplikasi pembuluh darah otak berupa stroke dengan penyakit diabetes melitus (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan diabetes melitus tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan diabetes melitus tipe 2.3
2. Mikroangiopati:
i. Kerusakan mata (Retinopati)
Berbagai kelainan akibat diabetes melitus dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes melitus, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati.1,3,9
ii. Kerusakan ginjal (Nefropati)
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes melitus dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun.9 Semakin lama seseorang terkena diabetes melitus dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes melitus juga terkait dengan neuropati atau kerusakan saraf.3 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati.1
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.1,3
Penderita diabetes melitus dengan neuropati perifer berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis diabetes melitus ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana. Adanya keluhan dan kemudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha mengendalikan konsentrasi glukosa darah sebaik mungkin dan perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Pengelolaan keluhan neuropati umumnya bersifat simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang memuaskan. Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit, berbagai usaha untuk pencegahan dan pengelolaan diabetes melitus serta berbagai faktor risikonya harus juga dikerjakan. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin. Demikian pula obat berupa obat gosok seperti krim Capsaicin (Capzacin) dapat dipakai pada penyandang diabetes melitus dengan neuropati yang menyakitkan. Semua penyandang diabetes melitus yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.1,9
Mengenai komplikasi diabetes melitus bisa juga dibaca di sini.
Referensi:
- Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
- Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
- Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol. 27, No. 2, Agustus 2014: 9-16.
- Purnamasari, Dyah. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. hlm 423-434.
- Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
- Soewondo, Pradana. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
- Soemadji, Djoko Wahono. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
- Waspadji, Sarwono. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.