Ini Akibat Malas Mencuci Tangan



Mencuci tangan bisa dikatakan merupakan aktivitas yang sederhana dan sepele. Namun, dari hal yang sederhana dan sepele tersebut banyak penyakit mengancam nyawa yang bisa dicegah. Berdasarkan pusat data dan informasi (Pusdatin) kementerian kesehatan RI berikut penyakit-penyakit yang rentan diderita apabila kita malas mencuci tangan:
  • Diare
Penyakit ini biasa kita dengar, bahkan tidak sedikit dari kita yang pernah, atau saat ini sedang menderita penyakit ini. meskiput kelihatannya sepela, namun diare merupakan penyebab kematian kedua yang paling sering pada anak-anak balita. Angka diare di Indonesia tahun 2007 berdasarkan Riskesdas 9,0% dan mengalami penurunan menjadi 3,5% pada tahun 2013. Penurunan angka diare 5,5% merupakan hasil dari enam (6) kali kampanye cuci tangan pakai sabun di Indonesia pada tahun 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013.
  • Infeksi Saluran Pernapasan 
Penyakit mengancam nyawa berikutnya yang juga disebabkan karena kita tidak mencuci tang adalah infeksi saluran pernapasan. Infeksi saluran pernapasan merupakan penyebab kematian pertama yang paling sering pada anak-anak balita. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 angka penyakit infeksi saluran pernapasan 25,5% dan mengalami penurunan 0,5% menjadi 25,0% pada tahun 2013. Penurunan tersebut merupakan hasil setelah dilakukan enam (6) kali kampanye cuci tangan pakai sabun.
  • Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit radang paru yang disebabkan oleh bakteri. Orang yang menderita penyakit ini ditandai dengan gejala panas tinggi disertai dengan batuk berdahak. napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya seperti sakit kepala, dan nafsu makan berkurang.
  • Infeksi Cacing
Penyakit infeksi cacing merupakan penyakit yang tidak tidak menyebabkan wabah yang muncuk dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak orang. Tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, dan penurunan intelegensia pada anak (Sudomo, 2008). Angka penyakit infeksi cacing di Indonesia pada semua umur 40%-60% dan pada anak-anak sekolah dasar (SD) 60%-80%. Menurut penelitian Zaidina Umar tahun 2005 disimpulkan bahwa perilaku cuci tangan sebelum makan memakai air dan sabun terbukti berhubungan signifikan dengan kejadian infeksi cacing.
  • Penyakit kulit
Menurut penelitian Sajida (2012) bahwa seseorang dengan kebersihan tangan dan kuku yang baik kemungkinan mengalami penyakit kulit lebih kecil daripada seseorang dengan kebersihan tangan dan kuku yang buruk, hal ini sesuai dengan penelitian Desi (2005) bahwa penyakit kulit bisa terjadi karena kebersihan tangan dan kuku yang buruk.

Oleh sebab itu, mari kita budayakan mencuci tangan pakai sabun dimulai dari diri dan keluarga kita supaya terhindar dari penyakit-penyakit yang ada di sekitar kita. Namun, apakah cuci tangan yang kita lakukan sudah benar supaya bisa menghilangkan kumanBerikut tahap-tahap mencuci tangan yang bisa anda terapkan sehari-hari:


Cara mencuci tangan yang baik dan benar menurut WHO:

Cara Mencuci Tagan Yang benar
Gambar Cara Cuci Tangan yang Baik dan Benar menurut WHO
Sumber: http://rsu-permata.com/wp-content/uploads/2013/07/Cara-cuci-tangan-yang-baik-dan-benar-menurut-WHO.jpg
Bisa dibaca juga di sini mengenai perilaku dan penelitian tentang mencuci tangan dengan sabun di dunia.


Daftar Pustaka 
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.
Sajida, Agsa. 2012. Hubungan Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan Keluhan Penyakit Kulit di Kelurahan Denai Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2012. Skripsi Penelitian. 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Sudomo, M, Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Etimologi dan Moluska, Jakarta.

Fakta mengenai Diabetes Melitus (4)


aktivitas-saran-sehat-obat-ampuh-tepat-benar-diabetes-melitus-sembuh
Tabel Aktivitas yang Disarankan pada Pasien Diabetes Melitus
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
            
            Saya sebagai seorang dokter seringkali menemui pasien yang tidak rutin minum obat anti diabetes melitus, tidak rutin kontrol gula darah, dan juga tidak rutin kontrol ke dokter dengan alasan tidak ada keluhan. Padahal penyakit diabetes melitus ini adalah penyakit yang bisa dikatakan tidak bisa sembuh, akan tetapi merupakan penyakit yang harus selalu terkontrol. Pasien diabetes melitus seringkali berobat jika sudah ada komplikasi akibat gula darah yang tidak terkontrol dalam jangka waktu lama. Penggunaan obat kimiawi maupun obat herbal pada pasien diabetes melitus seharusnya diperbolehkan jika sudah melewati penelitian yang menyatakan bahwa memang obat kimiawi atau obat herbal tersebut terbukti aman dan bermanfaat bagi pasien. Obat kimiawi anti diabetes melitus yang boleh beredar di pasaran bisa dikatakan sudah lolos semua tahap penelitian sehingga obat kimiawi tersebut terbukti aman dan bermanfaat bagi pasien diabetes melitus. Alangkah baiknya jika obat herbal untuk pasien diabetes melitus yang boleh beredar di pasaran juga harus lolos semua tahap penelitian agar memang terbukti aman dan bermanfaat bagi pasien diabetes melitus karena seringkali saya mendapati pasien diabetes melitus yang hanya mengkonsumsi obat herbal datang ke dokter dengan kondisi gula darah yang tidak terkontrol terlalu tinggi dan sudah dengan komplikasi. Berikut komplikasi diabetes melitus yang tidak terkontrol dalam jangka waktu lama.

Komplikasi
Pada diabetes melitus yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Di Amerika Serikat, diabetes melitus merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.3

Berikut ini merupakan komplikasi dari diabetes melitus:
a.      Komplikasi akut meliputi:
1.    Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300­600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300­320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. KAD merupakan salah satu komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.1,6
2.    Status Hiperglikemia Hiperosmolar
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH) termasuk salah satu komplikasi akut dan emergensi diabetes melitus. SHH ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600­1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330­380 mOs/mL), plasma keton (+/­), anion gap normal atau sedikit meningkat. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berut, dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis SHH biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus.1,7
Kedua kondisi di atas, KAD dan SHH mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.1
3.    Hipoglikemia
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah di bawah nilai normal. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada kadar glukosa darah 63-65 mg/dL (3,5-3,6 mmol/L). Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa plasma < 63 mg/dL (3,5 mmol/L).1,8
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24­72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.1
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).1 Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a) keluhan yang menunjukkan adarrya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b) kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c) hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi.8

diagnosis-keluhan-komplikasi-obat- diabetes-melitus
Diagram Diagnosis Diabetes Melitus
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

b.    Komplikasi kronik meliputi:
1.    Makroangiopati:
            i.        Kerusakan pembuluh darah jantung
Diabetes melitus merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi. Prevalensi penyakit jantung koroner dengan penyakit diabetes melitus (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada populasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan diabetes melitus tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan diabetes melitus tipe 2.3
Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner ataupun riwayat keluarga diabetes melitus yang kuat. Jika ada kecurigaan seperti misalnya ketidaknyamanan pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan penyaring yang teliti untuk mencari dan menangkap kemungkinan adanya penyakit pembuluh darah koroner, paling sedikit dengan pemeriksaan EKG saat istirahat, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan EKG dengan beban, serta sarana konfirmasi diagnosis lain untuk deteksi dini Coronary Artery Disease (CAD). Pada penyandang diabetes melitus, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada penyandang diabetes melitus.9
           ii.        Kerusakan pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD) sering terjadi pada penyandang diabetes melitus. Komplikasi ini dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes melitus daripada orang yang tidak menderita diabetes melitus. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes melitus berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.1,3
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, dll.), neurupati dan adanya penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang harus selalu dicari dan diperhatikan pada praktik pengelolaan diabetes melitus sehari-hari. Penyuluhan pada para penyandang diabetes melitus mengenai diabetes melitus pada umumnya serta perawatan kaki pada khususnya harus digalakkan.9
          iii.        Kerusakan pembuluh darah otak
Prevalensi komplikasi pembuluh darah otak berupa stroke dengan penyakit diabetes melitus (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan diabetes melitus tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan diabetes melitus tipe 2.3
2.      Mikroangiopati:
i.    Kerusakan mata (Retinopati)
Berbagai kelainan akibat diabetes melitus dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes melitus, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati.1,3,9
ii.   Kerusakan ginjal (Nefropati)
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes melitus dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun.9 Semakin lama seseorang terkena diabetes melitus dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes melitus juga terkait dengan neuropati atau kerusakan saraf.3 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati.1
3.      Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.1,3
Penderita diabetes melitus dengan neuropati perifer berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis diabetes melitus ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana. Adanya keluhan dan kemudian ditegakkannya diagnosis neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha mengendalikan konsentrasi glukosa darah sebaik mungkin dan perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Pengelolaan keluhan neuropati umumnya bersifat simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang memuaskan. Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit, berbagai usaha untuk pencegahan dan pengelolaan diabetes melitus serta berbagai faktor risikonya harus juga dikerjakan. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin. Demikian pula obat berupa obat gosok seperti krim Capsaicin (Capzacin) dapat dipakai pada penyandang diabetes melitus dengan neuropati yang menyakitkan. Semua penyandang diabetes melitus yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.1,9
Mengenai komplikasi diabetes melitus bisa juga dibaca di sini.

Referensi:
  1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
  2. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  3. Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol. 27, No. 2, Agustus 2014: 9-16.
  4. Purnamasari, Dyah. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. hlm 423-434.
  6. Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  7. Soewondo, Pradana. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  8. Soemadji, Djoko Wahono. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  9. Waspadji, Sarwono. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Fakta mengenai Diabetes Melitus (3) 


diagnosis-paling-tepat-cepat-benar-diabetes-melitus
Tabel Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

        Pada artikel Fakta Tersembunyi mengenai Diabetes Melitus (1) telah dibahas mengenai epidemiologi (persebaran penyakit) diabetes melitus. Fakta Tersembunyi mengenai Diabetes Melitus (2) juga telah dibahas mengenai definisi dan faktor risiko (hal-hal yang berperan) untuk terjadinya penyakit diabetes melitus. Pada artikel berikut ini Fakta Tersembunyi mengenai Diabetes Melitus (3) akan membahas cara mendiagnosis, screening (pemeriksaan penyaring), dan klasifikasi (tipe/macam) dari diabetes melitus. Yuk kita simak...

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus atau memastikan bahwa penderita tersebut memang menderita diabetes melitus maka ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena bukan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer dapat dilakukan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur).1,4
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) membagi alur diagnosis diabetes melitus menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya keluhan klasik diabetes melitus. Keluhan klasik diabetes melitus terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan keluhan lain diabetes melitus dapat berupa lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ditemukan keluhan klasik diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan keluhan klasik diabetes melitus, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.1,4
Diagnosis diabetes melitus juga dapat ditegakkan melalui cara:1,3,4,5
  1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus.
  2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
  3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.


hasil-laboratorium-gula-darah-diabetes-melitus-paling-benar-tepat

Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis diabetes melitus

Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia


Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko diabetes melitus, namun tidak menunjukkan adanya gejala diabetes melitus. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi diabetes melitus, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi diabetes melitus dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.1,4
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.4

Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, dibagi dalam 4 jenis yaitu:3,4,5

macam-tipe-jenis-paling-tepat-benar-diabetes-melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia


a. Diabetes Melitus Tipe 1
diabetes melitus tipe 1 terjadi pada usia muda, <40 tahun. diabetes melitus tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena proses imunologik ataupun idiopatik. Pada diabetes melitus tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis diabetik.3,4,5
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Penderita diabetes melitus tipe 2 bervariasi meliputi, predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif atau dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Pada penderita terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.3,4,5
Onset diabetes melitus tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. diabetes melitus tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.3
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
Diabetes melitus tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat/zat kimia, infeksi virus, penyakit autoimun, dan kelainan genetik lain.3,4,5
d. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus Gestasional merupakan suatu gangguan toleransi karbohidrat (TGT, GDPT, diabetes melitus) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada masa kehamilan sedang berlangsung, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. diabetes melitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita diabetes melitus gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita diabetes melitus yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.3,4,5

Mengenai diagnosis dan screening/pemeriksaan penyaring diabetes melitus bisa juga dibaca di sini. Klasifikasi diabetes melitus juga bisa dibaca di sini.

Referensi:
  1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
  2. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  3. Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol. 27, No. 2, Agustus 2014: 9-16.
  4. Purnamasari, Dyah. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. hlm 423-434.
  6. Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  7. Soewondo, Pradana. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  8. Soemadji, Djoko Wahono. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  9. Waspadji, Sarwono. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Fakta mengenai Diabetes Melitus (2)


pengelolaan-pengobatan-obat-tatalaksana-diabetes-melitus-ampuh
Bagan Pengelolaan DIabetes Melitus
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

        Artikel mengenai diabetes melitus Fakta Tersembunyi mengenai Diabetes Melitus (1) telah membahas tentang epidemiologi (persebaran penyakit) diabetes melitus. Pada artikel berikut ini akan membahas tentang definisi (pengertian) dan faktor risiko (hal yang berperan) dalam munculnya penyakit diabetes melitus.

Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, definisi diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1,3,4,5 Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.4
Secara epidemiologi, diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitan lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi derrgan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya diabetes melitus tipe 2.4

Faktor Risiko
Semakin besar faktor risiko diabetes melitus yang dimiliki oleh seseorang, semakin besar pula kemungkinan orang tersebut menderita diabetes melitus. Berikut ini merupakan faktor risiko diabetes melitus:4,5
1. Individu dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2
2. Aktivitas fisik kurang
3. Riwayat keluarga mengidap diabetes melitus pada turunan pertama (first degree relative)
4. Kelompok etnis dengan risiko tinggi diabetes melitus (African American, Latino, Native AmericanAsian AmericanPacific Islander)
5. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
6. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi)
7. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan/atau trigliserida > 250 mg/dL atau sedang dalam pengobatan dislipidemia
8. Wanita dengan riwayat PCOS (Polycistic Ovary Syndrome)
9. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
10. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis nigrikans)
11. Riwayat penyakit kardiovaskular meliputi pernah didiagnosis penyakit jantung dan/atau stroke.

Cukup sekian Fakta Tersembunyi mengenai Diabetes Melitus (2) yang telah membahas tentang definisi (pengertian) dan faktor risiko (hal-hal yang berperan) untuk terjadinya penyakit diabetes melitus. Mengenai faktor risiko keturunan (herediter) dan gaya hidup bisa dibaca di sini.

Referensi:
1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
2. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
3. Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol. 27, No. 2, Agustus 2014: 9-16.
4. Purnamasari, Dyah. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. hlm 423-434.
6. Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
7. Soewondo, Pradana. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
8. Soemadji, Djoko Wahono. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
9. Waspadji, Sarwono. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Fakta mengenai Diabetes Melitus (1)


diabetes-melitus-hasil-laboratorium-gula-darah 
Halo kawan, di artikel berikut ini akan membahas mengenai kencing manis atau dalam bahasa medisnya disebut dengan Diabetes Melitus. Kami akan menjelaskan mengenai diabetes melitus mulai dari bahasan epidemiologi atau persebaran penyakit sampai ke bahasan mengenai terapi dari diabetes melitus itu. Oke kawan, yuk kita simak artikel berikut ini:

Epidemiologi (Persebaran Penyakit)
Berdasarkan sumber dari World Health Organization (WHO), diperkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes melitus di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang. WHO juga memprediksi terdapat peningkatan jumlah penyandang diaebtes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, juga memprediksi terdapat kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.1,2
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi diabetes melitus sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penderita diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes melitus pada urban 14,7% dan rural 7,2% maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.1
Laporan hasil penelitian berbagai daerah di Indonesia sebaran jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa tempat yaitu di Tanah Toraja 0,8%, Pekajangan 2,3%, dan Manado 6%.1,2,3 Berdasarkan hasil penelitian terbaru terdapat peningkatan jumlah penderita diabetes melitus yang sangat tajam. Sebagai contoh,pada penelitian di Jakarta (daerah urban), penderita diabetes melitus dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001.1,2
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensi diabetes melitus Tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar prevalensi diabetes melitus terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi diabetes melitus (unadjusted) di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan diabetes melitus yang terdeteksi sebesar 3,8% dan diabetes melitus yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian diabetes melitus yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus diabetes melitus yang sudah terdeteksi.2
Sekian dulu artikel Fakta Tersembunyi mengenai Diabetes Melitus (1) yang membahas epidemiologi (persebaran penyakit) diabetes melitus. Untuk pembahasan berikutnya mengenai diabetes melitus akan segera menyusul artikel yang berikutnya. Artikel mengenai diabetes melitus juga bisa dibaca di wikipedia dengan judul diabetes melitus.


Referensi:
  1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
  2. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  3. Ndraha, Suzanna. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol. 27, No. 2, Agustus 2014: 9-16.
  4. Purnamasari, Dyah. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. hlm 423-434.
  6. Soewondo, Pradana. Ketoasidosis Diabetik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  7. Soewondo, Pradana. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  8. Soemadji, Djoko Wahono. Hipoglikemia Iatrogenik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
  9. Waspadji, Sarwono. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.